Arus kapitalisme yang berjalan beriringan dengan globalisasi, mengantarkan manusia menjadi matrealistis. Tak dapat disangkal, bahwa industrialisasi sebagai salah satu cirinya menunjukkan perkembangan yang semakin pesat. Berbagai komoditi dijadikan sebagai objek dalam indutrialisasi tersebut dan berdampak terhadap kreativitas manusia dalam menemukan jenis komoditi yang dapat mendatangkan banyak keuntungan (uang). Tata nilai kemudian terpinggirkan dan Hak Asasi Manusia (HAM) pun tidak lagi dijunjung tinggi.
Salah satu kreativitas bebas nilai yang ditemukan oleh manusia, adalah menjadikan manusia sebagai komoditi industri. Manusia diperdagangkan, diperjualbelikan, seperti layaknya komoditi lain. Sederhananya, manusia berdagang manusia. Dalam sistem yang terorganisir, manusia masuk dalam industri perdagangan manusia yang berlangsung tidak hanya dalam negara saja, tapi juga melewati lintas batas negara.
Hingga hari ini, perdagangan manusia masih menjadi isu global yang mengemuka. Dalam perkembangannya, perdagangan manusia adalah bentuk modern perbudakan yang luas terjadi di seluruh dunia. Memperdagangkan manusia adalah industri kejahatan terbesar kedua di dunia setelah perdagangan obat terlarang dan merupakan yang tercepat pertumbuhannya. Menurut Laporan Perdagangan Manusia Amerika Serikat 2004, 5.564 perempuan ditangkap dan ditahan di Malaysia karena dicurigai melakukan prostitusi dan mereka adalah korban perdagangan manusia.. Sedangkan dalam catatan Asian Development Bank, pada tahun 2003 sebanyak satu sampai dua juta manusia diestimasi telah diperdagangkan di seluruh dunia. Sebagian besar dari negara miskin dan berada pada tahap berkembang.
Dalam aktivitas perdagangan manusia tersebut, perempuan juga telah menjadi bagian dari komoditas yang dieksploitasi. Fakta membuktikan bahwa perempuan telah dieksploitasi sedemikian rupa. Dalam kondisi seperti ini, anak-anak bangsa menjadi kehilangan tokoh ibu yang bisa dijadikan pujaan dan kebanggaan. Dunia kehilangan figur perempuan yang mulia. perempuan-perempuan yang diperlakukan seperti barang dagangan.
Dalam penelitian Anatona Guno mengenai perbudakan dan perdagangan di kawasan Selat malaka dalam kurun waktu tahun 1786-1980, perempuan menjadi komoditas yang menarik karena mempunyai harga jual yang lebih tinggi daripada laki-laki. Perempuan yang diperdagangkan ini ditujukan untuk keperluan sebagai buruh, pelacuran dan dijadikan istri, dengan melibatkan berbagai kelas sosial, etnis, dan golongan. Permintaan pasar tehadap komoditi perempuan jauh lebih besar dibandingkan permintaan pasar terhadap laki-laki. Itulah sebabnya perempuan yang menjadi korban perdagangan manusia jauh lebih besar dibandingkan laki-laki. Sebagai komoditi, perempuan lebih sering dijadikan pekerja seks dalam industri prostitusi dimana konsumen dalam industri ini didominasi oleh laki-laki. Industri prostitusi merupakan permintaan paling banyak dalam kasus perdagangan perempuan. Tetapi tidak hanya itu, perempuan diperdagangkan juga untuk dijadikan budak, buruh dan bahkan untuk kepentingan penjualan organ tubuh. Berbeda dengan laki-laki, jumlah permintaan pasar untuk menjadikan laki-laki sebagai komoditi relatif lebih kecil karena peruntukkan komoditi laki-laki terutama hanya untuk dipekerjakan sebagai buruh kasar (bangunan, pabrik). Dengan kata lain, peruntukkan komoditi laki-laki dalam perdagangan manusia, sebagian besar hanya untuk dieksploitasi tenaganya.
Dilandasi oleh faktor kemiskinan dan rendahnya tingkat pendidikan dapat menggeser manusia untuk bisa bertahan dalam tantangan arus globalisasi. Masyarakat yang pragmatis menjadikan perempuan sebaagi aset yang menghasilkan uang. Apalagi oleh masyarakat di negara miskin. Perempuan dianggap sebagai kelompok kelas kedua (subordinate), sementara laki-laki sebagai pemilik kekuasaan despotik terhadap perempuan yang bisa melakukan apa saja. Termasuk memperdagangkan perempuan. Kondisi ini akhirnya menempatkan anak perempuan dalam keterpaksaannya, untuk dijadikan komoditi. Di Asia, seringkali perempuan yang diperdagangkan buta huruf, dari desa terpencil, miskin, etnis minoritas dan kasta terbawah.
Pada bulan Oktober 2006, Kantor Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan menyebutkan ada 18 perempuan Indonesia dari berbagai daerah yang diperdagangkan sebagai pekerja seks komersial ke Jepang, padahal menurut janji awal mereka akan menjadi duta seni sebagai penari. Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan (Menneg PP) Meutia Hatta juga mengatakan, diperkirakan jumlah korban perdagangan manusia dengan modus sama mencapai lebih dari 1.000 perempuan dan Jepang diduga bukan satu-satunya negara tujuan. Indonesia sendiri termasuk negara tier ke-3 dalam laporan perdagangan manusia 2002. Berdasarkan laporan Depertemen Luar Negeri Amerika Serikat tahun 2001 mengenai Perdagangan Manusia, bahwa Indonesia bersama 22 negara lainnya dipandang sebagai sumber perdagangan manusia, baik untuk kepentingan dalam negeri maupun mancanegara.
Salah satu tujuan perdagangan manusia adalah memasukkan perempuan dalam industri prostitusi. Di Thailand pada tahun 1993, diperkirakan 20.000 perempuan Burma terlibat sebagai pekerja seks di dalamnya., selain berasal dari Burma tercatat pula bahwa 80 ribu perempuan dari provinsi Yunan di Cina dikirim ke Thailand. Sementara di Malaysia Timur banyak pula perempuan Indonesia menjadi pekerja seks dalam industri prostitusi. Begitupula dengan Ukraina, sekitar 500 ribu wanita dan anak-anak dari negeri ini diselundupkan ke negara-negara Eropa. Komisi HAM PBB melaporkan, sekitar10 ribu anak-anak perempuan diselundupkan dari Myanmar ke Thailand. 40 persen pekerja seks anak di Kamboja di datangkan dari Vietnam. UNICEF juga melaporkan bahwa di Taiwan, sekitar 100 ribu remaja putri terlibat dalam industri prostitusi. Korban dalam industri prostitusi ini, sebagian besar merupakan korban perdagangan perempuan.
Dalam banyak kasus perdagangan manusia yang terjadi, seringkali korban dipaksa dengan modus penculikan. Tak sedikit pula korban berada dalam jeratan utang, sehingga dalam keadaan terpaksa mau dijadikan tebusan utang yang tidak dapat dibayar. Modus lain, korban ditipu dengan akan dipekerjakan di luar negeri sebagai buruh migran. Dalam modus penipuan, seringkali melibatkan orang terdekat seperti keluarga, tetangga dan tokoh masyarakat setempat. Seperti pada salah satu contoh kasus yang terjadi pada gadis yang masih berusia 17 tahun di Indonesia, ia diajak oleh bibinya untuk bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Tapi pada akhirnya ia dibawa ke lokasi prostitusi, bahkan dipaksa dan dianiaya untuk menjajakan seks. Studi tentang pekerja seks di india, bahwa 33 persen dipaksa masuk dalam industri prostitusi karena ajakan keluarga dekat.
Tidak hanya prostitusi yang menjadi tujuan utama dalam perdagangan perempuan. Mereka yang diperdagangkan akan dipaksa menjalani aktivitas sebagai berikut:
Peredaran narkotika, Mail order bride, Child sex tourism (kasus untuk anak perempuan), Buruh migran (pembantu rumah tangga, buruh pabrik) dengan upah murah, Eksploitasi organ tubuh, Kurir narkoba, Adopsi ilegal, Pengemis jalanan dan tindakan serupa perbudakan.
Perdagangan perempuan sebagai aktivitas dalam trafficking in humanity lintas batas negara, sudah seharusnya menjadi perhatian yang serius dari masyarakat internasional mengingat semakin banyaknya kasus yang terjadi.
Oleh : Nur Amelia
Ketua Korpus Korps PII Wati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar